Jumat, 02 Mei 2008

Pamelo Muria : Dua Nama Satu Rasa

Oleh : Destika Cahyana
Sumber : Majalah Trubus No.446, Januari 2007 : hal.6- 63).



Di Pati namanya jeruk bali madu. Di Kudus, jeruk muria kudus. Julukan jeruk besar tanpa biji ini memang ganda. Di Kota Tayub—sebutan Pati-- Citrus grandis tumbuh di lereng sebelah barat Gunung Muria. Di Kudus ia ditemukan di kaki gunung sebelah timur. Karena lezat—rasa manis tanpa asam—jeruk istimewa itu menjadi kebanggaan Pati dan Kudus.

Dualisme nama itu bermula dari munculnya jeruk bali madu ke pentas nasional. Ketika itu Sukir Spd, pekebun buah di Pati, memboyong 2 truk –setara 8 ton-- jeruk besar ke Pameran Trubus Agro Expo 2006 di Taman Bunga Wiladatika Cibubur, Jakarta Timur. Di pameran itulah jeruk bali madu menyedot perhatian pengunjung dan sesama peserta stan. “Luar biasa. Itu jeruk paling enak yang pernah saya cicipi. Manis tanpa rasa asam,” kata Ganis Harsono, pemilik Garfazh Utama Nurseri, di Jakarta.

Kehadiran di ajang pameran itu juga emngejutkan kalangan perbuahan. “Setahu saya, pati bukan sentra jeruk besar. Namun, 4 tahun silam pernah muncul jeruk yang hamper mirip. Namanya jeruk muria kudus,” tutur Eddy Soesanto, pemilik nurseri Tebuwulung. Menurut Eddy, jeruk muria kudus pernah diperkenalkan Prakoso Heryono pada awal 2000.

Pakar pamelo –sebutan jeruk besar—di Loka Penelitian Tanaman Jeruk dan Holtikultura (Lolitjeruk) di Tlekung, Jawa Timur, pun tak mau berspekulasi. “Bila cirri-cirinya sama, kemungkinan besar serupa. Apalagi Pati dan Kudus berdekatan, hanya dipisahkan Gunung Muria. Pati di sebelah timur dan Kudus di barat,” tutur Khairani Martasari Msi, peneliti di Lolitjeruk.

Kudus dan Pati. Simpang siurnya asal-muasal pamelo berdaging merah itu membuat Trubus penasaran. Pada penghujung November 2006, Prakoso Heryono—penangkar yang pertamakali memperkenalkan pamelo muria kudus—bercerita. Buah yang dibawanya ke pameran Flora dan Fauna di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, berasal dari wilayah di kaki Gunung Muria. Secara administratif daerah itu termasuk ke dalam 2 wilayah : Kecamatan Gawe, kabupaten Kudus dan Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati.

Nama pamelo muria kudus disematkan masyarakat kota kretek itu karena mereka percaya asal-muasal tanaman itu dari Kudus. Konon pada 1970-an ada sebuah kawasan elit di Kudus yang bernama daerah kauman. Pagar pekarangan di daerah itu tinggi-tinggi sehingga aktivitas penghuni dan isi pekarangan rumah tak bisa dilihat masyarakat sekitar.

Dari sebuah rumah milik H. Abdul Gofar, jeruk besar kerap muncul sebagai buah tangan untuk tetangga. Tak seorang pun berani memperbanyak tanaman itu karena sang pemilik orang yang sangat disegani.

Bibit cangkokan baru beredar di masyarakat Kudus setelah seorang tukang batu menyelundupkan cangkokan dan menanam di rumahnya. Sayang, cerita yang beredar di masyarakat Kudus itu tak bisa dilacak sampai ke tokoh kunci, sang tukang batu.

Titik terang muncul dari cerita H. Suradi, ayah mertua Sukir. Menurutnya, pada 1960-an Hj Fatma, seorang janda dari H. Zaini di Pati, dinikahi kyai terkenal asal Kudus bernama H. Abdul Gofar. Tak lama setelah menikah Abdul Gofar tinggal di Pati dan menanam 2 cangkokan jeruk besar yang berasal dari rumahnya di Kudus. Sepeninggal Gofar dan Ratna kedua tanaman itu mati merana. Beruntung pada 1972, Suradi yang bekerja pada Fatma diperbolehkan mencangkok 2 bibit untuk ditanam di ahlaman rumahnya di Pati.

Menyebar. Selama 14 tahun jeruk besar di halaman rumah Suradi tak terurus. Baru pada 1988, Sukir, menantunya, mencangkok 10 bibit untuk ditanam di lahan seluas ¼ ha. Ia tertarik menanam karena pada 1986 –saat baru menikah-- dari 2 pohon indukan itu diperoleh 1.000 buah. Total pendapatan Rp. 500-ribu. “Nilai itu setara dengan 2 anak sapi,” tutur Sukir.

Prediksinya tepat. Saat panen pertama kali, pada 1997, ia memperoleh pendapatan Rp. 10-juta dari 10 pohon. Nilai itu luar biasa karena tanah seluas ¼ ha miliknya hanya dihargai Rp. 6-juta.

Masyarakat Gembong gempar melihat harga jeruk bisa melampaui harga tanah. Sejak itulah tetangga Sukir mengikuti jejak menanam jeruk besar. Sang pionir pun memperluas penanaman hingga 2 ha sejak 1995-2003. Total jenderal ia memiliki 270 tanaman berbagai umur. Dari sanalah pada 2005 guru Sekolah Dasar itu memperoleh 5 ton setara Rp. 35-juta. Pada 2006, total panen dan pendapatan berlipat dua kali. Sukir menduga, saat ini di Kabupaten Pati tersebar 125.000 tanaman berumur 3-4 tahun.

Kudus pun tak mau ketinggalan. Menurut Moch. Tarom Amd, staf Dinas Pertanian Kabupaten Kudus, populasi mencapai 55.500 tanaman. Dari jumlah itu, 35.000 pohon sudah berproduksi ; 13.000 dewasa belum berroduksi dan 7.500 tanaman muda. Kelak 3-4 tahun ke depan, Pati dan Kudus bakal menyaingi Magetan, sentra pamelo di Jawa Timur.


Pamelo muria. Dari cerita itu Khairani mengusulkan satu nama untuk jeruk bali madu dan jeruk muria kudus. “Keduanya (Pati dan Kudus, red) memang berhak mengklaim nama itu. Namun, yang lebih tepat pamelo muria. Dia kebanggaan Jawa Tengah karena wilayah penyebaran lebih dari 1 kabupaten,” ujar Khairani.

Menurutnya, pamelo muria memiliki keistimewaan yang sulit ditemui pada varietas lain. “Buah tidak berbiji. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menciptakan pamelo tanpa biji,” tutur kelahiran Padang 36 tahun silam itu.

Contohnya nambangan, varietas pamelo asal Magetan, Jawa timur, meski diradiasi agar tak berbiji. Pada pemlo muria, buah tanpa biji bila ditanam pada ketinggian di atas 400 m dpl. Pada ketinggian kurang dari itu buah berbiji 1-2.

Kelezatan pamelo muria mengingatkan Trubus pada varietas unggul nasional pamelo taliwang merah dan taliwang putih asal NTB. Bedanya taliwang berukuran kecil, 0,5-1 kg. (baca : Merah Putih Berkibar di Sabalong Samalewa, Trubus Oktober 2005).

Sedangkan jeruk bali Pati tanpa biji dan ukuran bervariasi, mulai 1 kg hingga 12 kg per buah. Kulit pun tebal, 2 cm sehingga gigitan lalat buah tak menembus daging buah. Pamelo muria memang layak sejajar dengan varietas unggul nasional lain.

Tidak ada komentar: